Siapa sih yang bilang industri migas tidak berrisiko ? Semua pasti tahu. Dan selalu saja berpikir bahwa sukses rasio ngebor sumur minyak itu 1:10. Artinya ngebor sumur eksplorasi sampai sepuluh sumur yang dapat minyak atau gas cuman satu. Tapi dengan sukses rasio 10% segitu saja industri migas masih merupakan industri menggiurkan dan menguntungkan.
Tadi pagi sahabatku di mailist IndoEnergy memberitahukan ada artikel menarik yang ditulis oleh Rob Jessen, Global Oil & Gas Sector Leader, Ernst & Young di Journal Petroleum Technologi bulan July 2008. Rob menulisakan 10 risiko terbesar yang dihadapi industri migas saat ini.
Dan jangan kaget, ternyata risiko eksplorasi diatas tidak masuk dalam hitungannya.
Rob melakukan survey ini berdasarkan seleksi sesuai profesinya sebagai konsultan. Ke sepuluh risiko itu dibuat dalam 3 kategori ancaman utama seperti dalam gambar diatas, yaitu ancaman sektoral, ancaman operasional, dan ancaman yang bersifat makro. Sedangkan kesepuluh risiko-risiko itu adalah :
1. Kekurangan tenaga kerja – Human capital defisit
Ya kekurangan tenaga kerja. Saat ini hampir semua berteriak industri kekurangan tenaga kerja, terlebih-lebih tenaga di industri migas. Masih ingat kan tulisan lama disini : Bonus Masuk Kerja “Sejuta Dollar !!” dan Is the oil BOOM over ? (3) – The workforce challenge“Tapi Pakdhe, kenapa di Indonesia masih sulit cari kerja ?”Salah satu problem di Indonesia kenapa masih banyak yang pengangguran, barangkali antara lain karena kegagalan membuat proyek atau investasi. Barangkali juga mereka-mereka yang berpotensi mengeluarkan ide-ide proyek dan investasi ini sudah di”culik” oleh negara lain. Sehingga di dalam Indonesia kekurangan orang yang mampu untuk “create” kerjaan. Ya kurang orang yang “membuat kerjaan“, lebih banyak yang menunggu hanya menjadi pekerja saja.
“yang sulit itu mencari yang well trained atau experienced. Karena banyak yang kluar masuk sehingga perusahaan banyak yang enggan melakukan training”
2. Fiskal terms yang memburuk – Worsening Fiscal Terms
Risiko perubahan fiskal term ini dihadapi perusahaan migas dimana-mana di dunia ini. Terutama banyaknya usaha migas yang di nasionalisasi. Indonesia sakjane malah diperbagus (dipermudah), walaupun ada sedikit goncangan dalam soal Cost Recovery. Tetapi semestinya akan banyak investor uang akan menuju ke Indonesia dibandingkan ke negara-negara lain.3. Kontrol biaya (cost control)
Ini bukan sekedar karena adanya cost recovery yang dikontrol oleh government looh. Cost control ini artinya perusahaan minyak tidak lagi mampu mengontrol biaya yang diperlukan dalam melakukan kegiatannya. Salah satu misalnya meningginya harga biaya pengeboran karena sewa rig, maupun harga baja untuk kebutuhan pipa maupun konstruksi. Ketidak mampuan mengontrol ini tentusaja mempersempit ruang gerak industri migas.Diperkirakjan harga serta biaya konstruksi saat ini meningkat hingga menyebabkan kenaikan 79% sejak tahun 2000, terutama sejak May 2005.
4. Perebutan cadangan (Competition for Reserves)
Perebutan cadangan ini banyak teradi setelah banyaknya NOC (National Oil Companies) berebut cadangan dengan IOC (International Oil Companies. Apa itu NOC-IOC, silahkan baca tulisan lama ini ( Sepintas mengenal IOC - International Oil Corporation - dan Pergeseran peran NOC (National Oil Corporation) dalam kancah global energi). Saat ini banyak NOC yang ikutan bereksplorasi ke negara-negara lain. Petronas (malaysia), Petrobras (brasil), CNOOC (Cina) dll banyak yang juga ikut-ikutan berebut untuk eksplorasi ke negeri-negeri diluar negara nya. Tentunya ini akan mengurangi porsi IOC.5. Hambatan politik untuk akses cadangan (Political Constraints on Access to Reserves)
Saat ini lebih dari 75 % cadangan migas dunia dikuasai oleh NOC, sehingga banyak IOC yang kebingungan mau investasi. Tentusaja mereka berebut tidak hanya karena semakin sedikitnya oportuunity tetapi juga karena banyak NOC yang ikutan beroperasi menyainginya. Selain itu juga karena nasionalisasi serta bentuk service contract yang lebih menyulitkan bagi IOC.Selama ini hambatan ini memang bukan menjadi faktor yang dominan. Kali ini hanya masuk rangking ke lima sebelum faktor2 diatas. Namun soal politik ini akan secara langsung maupun tidak mempunyai kaitan dengan dua risk factor (2 dan4) sebelumnya. Artinya pergolakan politik masih harus diperhitungkan masak-masak.
6. Ketidakpastian kebijakan energi (Uncertainty Energy Policy)
Menurut Rob ini termasuk dalam ancaman makro, artinya bukan hanya sekedar kebijakan salah satu negara atau pemerintah saja. Yang dimaksud disini misalnya kesepakatan global tentang emisi carbon. Ketidak pastian jual beli karbon dsb.Jadi ketidakpastian terjadi dengan adanya kebijakan EHS (Environment, Safety, Helth), Lingkungan, KEselamatan dan KEsehatan. Paling tidak disini akan bertarung antara kepentingan lingkunganis (enviromentalist) dengan economist, mana yang akan menang ?
7. Kejutan Kebutuhan (Demand Shocks)
Apabila terjadi krisi ekonomi global, maka bisa dipastikan terjadi gangguan kebutuhan energi termasuk didalamnya minyak dan gasbumi. Resesi global juga dapat saja menjadi trigger munculnya kejutan-kejutan baru yang mempengaruhi iklim investasi industri minyak dan gas bumi. Termasuk didalamnya terutama kejutan yang muncul dari China. Sepertinya banyak yang meragukan kemampuan China untuk terus maju dengan laju yang ada saat ini. Banyak yang ragu China mampu untuk terus berekspansi. Kita lihat saja !.8. Perubahan Iklim (Climate Concern)
Ternyata global warming juga dikhawatirkan oleh para investor-investor migas ini. Namun mereka lebih yakin adanya kerancuan pengertian diantara kejikajan dunia dengan pendekatan ilmiah (scientific). Kemungkinan akan muncul surprise tentang apa yang bakalan terjadi. Bisa saja scientis yang percaya akibat natural, ataupun politisi awam yang terkejut ternyata tidak terjadi seperti yang diberitakan selama ini.“Pakdhe, apa jangan-jangan global warming itu hanya hoax ya ? Atau barangkali mirip Millenium Bug ? Dulu banyak mengeluarkan biaya milyaran, bahkan trilliunan dollar ternyata semua komputer di dunia aman-aman saja melewati tahun 2000 tuh “
9. Kejutan supplier (Supply Shock)
Tentunya ini bukan supllier barang-barang itu. Tapi supplier migas atau produsen migas. Misalnya perang di Timur Tengah yang mempengaruhi harga dalam beebrapa dekade lalu. Ataupun mungkin embargo minyak. Tentusaja yang dikhawatirkan adalah lonjakan harga yang tidak terkontrol. Karena semua akan terpengaruh oleh harga minyak.Menurut sya salah satunya tentunya seandainya saja OPEC mampu mengontrol harga minyak seperti sebelumnya. Baca tulisan sebelumnya disini :Peran OPEC dalam “mengendalikan” harga minyak
10. Konservasi Energi (Energy Conservation)
Risiko terakhir ini konon dipicu oleh pendapat energy economist. Hemat energy selama ini sering ditinggalkan dalam mengkaji kebutuhan energi. Dan selama ini memang yang diuprek-uprek adalah dari disi supply.Tentusaja di Indonesia sering terdengar himbauan penghematan energi. Termasuk dengan pengalihan hari kerja ke Sabtu-minggu sekali dalam sebulan itu. Tapi apakah kebijakan ini sudah tepat ? Ini yang perlu kita kaji ulang.
Namun menurut para energy economist ini, potensi penghematan sangat besar terjadi di negara-negara berkembang (OECD). Karena memang mereka saat ini pengguna terbesar dan terboros perkapitanya.
Risiko itu dinamis
Perlu diketahui bahwa kesepuluh risiko ditas bukan untuk selamanya. Ini hanya snapshot saat ini saja. Risiko bukan sesuatu yang statis, sifatnya dinamis dan berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, dan berubah sepanjang waktu.- Reference “Top 10 Risks for the Oil and Gas Industry“, Rob Jessen, Global Oil & Gas Sector Leader, Ernst & Young. JPT, July 2008.
- http://rovicky.wordpress.com/2008/08/15/10-risiko-terbesar-dalam-industri-migas/
Post a Comment
Terima kasih sobat, semoga hal-hal yang saya bagikan di sini dapat bermanfaat